Kelelahan Kru dan Kondisi Pesawat Jadi Fokus Utama

Kelelahan Kru dan Kondisi Pesawat Jadi Fokus Utama

Suara.com – Kecelakaan Pesawat Jeju Air Menarik Perhatian Menteri BUMN

Kecelakaan yang melibatkan pesawat Jeju Air di Korea Selatan menjadi sorotan utama Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir. Ia menyatakan bahwa insiden ini menekankan pentingnya upaya mitigasi terkait kecelakaan pesawat serta kebutuhan untuk memastikan bahwa awak pesawat mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Hal ini bertujuan untuk mencegah kelelahan yang dapat membahayakan keselamatan penerbangan.

Dalam pernyataannya, Erick juga mengingatkan kembali pada kecelakaan yang pernah terjadi di Kanada dan Norwegia. Namun, ia memilih untuk tidak menyebutkan jenis pesawat atau jumlah korban, demi menghormati etika serta perasaan para keluarga yang terkena dampak.

“Saya tidak akan menyebutkan jenis pesawatnya karena ini berkaitan dengan etika. Demikian juga dengan jumlah korban, saya ingin menjaga perasaan keluarga,” ujar Erick.

Baca Juga: Garuda Indonesia dan Pelita Air Segera Bersatu, Erick Thohir Bicara Nasib 6 Bulan ke Depan

Menanggapi situasi ini, Erick menekankan pentingnya peninjauan kondisi pesawat yang dimiliki semua maskapai. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa pesawat-pesawat tersebut dalam kondisi aman dan terawat dengan baik.

Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi terhadap tingkat kelelahan kru penerbangan, meskipun ia percaya bahwa para awak sudah memiliki pengalaman yang cukup untuk menghadapi berbagai situasi dalam penerbangan.

“Oleh karena itu, kita perlu melakukan evaluasi untuk memastikan kondisi pesawat dari masing-masing maskapai, serta menilai tingkat kelelahan kru,” tegasnya.

Selain itu, Erick mengingatkan bahwa keselamatan di bandara harus tetap menjadi fokus utama, dengan beberapa bandara yang saat ini sedang menjalani evaluasi sistem keselamatan yang ada.

Erick memberikan apresiasi kepada Bandara Jakarta-Bali, yang telah menunjukkan tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap standar internasional. Namun, ia juga mencatat bahwa masih ada beberapa bandara lain yang memerlukan peninjauan lebih lanjut.

Baca Juga: Yoon Suk Yeol vs Negara: Mantan Presiden Korsel Bersumpah Berjuang Hingga Titik Darah Penghabisan

Ia juga menekankan bahwa kecelakaan dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar biasa, seperti cuaca ekstrem atau burung yang masuk ke dalam mesin pesawat. Oleh karena itu, Airnav diminta untuk meningkatkan sistem peringatan dini.

“Beberapa bandara sedang ditinjau kembali, dan kami juga perlu mengantisipasi kondisi luar biasa yang dapat menyebabkan kecelakaan, seperti cuaca buruk atau burung yang masuk ke mesin. Kami sudah berkoordinasi dengan AirNav untuk memperbaiki sistem peringatan dini,” jelas Erick.

Untuk diketahui, insiden kecelakaan pesawat terbaru terjadi pada salah satu maskapai asal Korea Selatan pada hari Minggu, 20 Desember 2024, di Bandara Internasional Muan, Korea Selatan. Pesawat tersebut berangkat dari Bangkok dengan membawa 175 penumpang dan enam awak kabin. [Sumber: anomsuryaputra.id].

Lebih Cuan dari PPN 12%, Pemerintah Bisa Terapkan Cukai Karbon untuk Kendaraan Bermotor

Lebih Cuan dari PPN 12%, Pemerintah Bisa Terapkan Cukai Karbon untuk Kendaraan Bermotor

Jakarta

Pemerintah Indonesia tengah merencanakan peningkatan pendapatan dari sektor pajak melalui penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang dijadwalkan mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada industri otomotif, dengan kemungkinan kenaikan harga untuk mobil dan motor baru. Beberapa pihak juga menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan pengenalan cukai karbon dengan tarif yang lebih tinggi dibandingkan PPN 12% yang direncanakan.

“Mengenai potensi cukai karbon, jika kita ingin membuka ruang fiskal baru, ini akan menjadi sumber pendapatan baru bagi negara. Saat ini, pemerintah sedang mencari cara untuk meningkatkan pendapatan, namun setelah menjajaki berbagai opsi, tidak menemukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, langkah yang diambil adalah meningkatkan pajak (PPN 12%),” jelas Ahmad Safrudin, Direktur Eksekutif KPBB (Komite Penghapusan Bensin Bertimbel), dalam sebuah diskusi bertajuk Opsi Lain PPN 12%: Cukai Karbon Kendaraan – Catatan Mitigasi Emisi Kendaraan Tahun 2024, di Jakarta, Senin (30/12/2024).

Safrudin menambahkan bahwa penerapan cukai karbon dapat menjadi alternatif yang lebih baik daripada sekadar bergantung pada PPN 12%. Pemerintah berkesempatan untuk menerapkan skema tax feebate dan tax rebate untuk kendaraan bermotor.


IKLAN


GULIR UNTUK MELANJUTKAN KONTEN

“Tax feebate adalah pajak tambahan yang dikenakan pada barang yang dibeli oleh masyarakat, sedangkan rebate adalah insentif yang diberikan kepada masyarakat yang memenuhi syarat tertentu dalam mengkonsumsi barang tertentu. Syarat tersebut berkaitan dengan standar emisi karbon,” tambah Safrudin.

Menurut Safrudin, pemerintah dapat menetapkan standar emisi gas buang untuk kendaraan bermotor. Sebagai contoh, pada tahun 2025, pemerintah mungkin akan menetapkan batas emisi karbon sebesar 118 g/km untuk kendaraan roda empat penumpang atau light duty vehicle seperti sedan dan MPV.

“Untuk sepeda motor, kami berharap pemerintah menetapkan batas maksimum sebesar 85 g/km, sedangkan untuk heavy duty vehicle seperti bus dan truk, diharapkan bisa ditetapkan batas maksimum sekitar 1.500 g/km,” tambah pria yang akrab disapa Puput ini.

Safrudin menjelaskan bahwa dengan menerapkan standar emisi karbon ini, pemerintah berpotensi mendapatkan pendapatan baru yang lebih tinggi dibandingkan PPN 12%.

“Apakah kendaraan dengan emisi karbon yang melebihi standar tidak boleh diproduksi dan dijual di Indonesia? Tentu saja masih bisa dijual, tetapi akan dikenakan disinsentif atau penalti,” tegasnya.

Disinsentif ini nantinya akan dikenal sebagai ‘cukai karbon’. Setiap gram emisi karbon yang melebihi standar yang ditetapkan akan dikenakan cukai.

“Sebaliknya, setiap gram di bawah standar akan mendapatkan insentif, sehingga kendaraan dengan emisi karbon tinggi akan lebih mahal. Sementara kendaraan dengan emisi rendah akan lebih terjangkau. Ini akan mendorong masyarakat untuk memilih kendaraan dengan emisi karbon yang lebih rendah karena harga yang lebih ekonomis. Ini adalah langkah yang lebih adil,” lanjut Safrudin.

Besaran Cukai untuk Emisi Karbon yang Melebihi Standar

Safrudin mengungkapkan bahwa kendaraan dengan emisi karbon yang melebihi ketentuan dapat dikenakan cukai berdasarkan gramnya. “Perhitungan kami menunjukkan sekitar Rp 2.250.000 per gram. Misalnya, kendaraan MPV yang saat ini memiliki emisi karbon rata-rata 200 g/km, berarti ada kelebihan sekitar 82 g. Dengan perhitungan 82 g dikali Rp 2.250.000, maka total cukai yang harus dibayar sekitar Rp 180 juta. Angka ini akan menambah harga jual kendaraan tersebut,” jelas Safrudin.

Safrudin memberikan contoh, jika sebuah MPV dijual dengan harga Rp 460 juta, setelah dikenakan cukai karbon sebesar Rp 180 juta, harga totalnya menjadi sekitar Rp 640 juta.

Di sisi lain, kendaraan dengan emisi karbon di bawah standar akan mendapatkan insentif. “Contohnya, Battery Electric Vehicle yang harganya sekitar Rp 700 juta dengan emisi karbon rata-rata antara 50-60 g/km, sehingga ada selisih emisi sekitar 58 g di bawah standar. Jika 58 g dikali Rp 2.250.000, maka akan ada sekitar Rp 135 juta yang dapat mengurangi harga mobil listrik tersebut. Jadi, harga awal Rp 700 juta, dikurangi Rp 135 juta, sehingga harga akhirnya hanya Rp 565 juta. Ini menunjukkan bahwa harga mobil dengan emisi rendah menjadi lebih terjangkau,” jelas Safrudin.

Pemerintah Berpotensi Menghasilkan Rp 92 Triliun dari Cukai Karbon

Pemerintah diperkirakan dapat meraih pendapatan puluhan triliun rupiah setiap tahun dari penerapan cukai karbon. Pendapatan ini dapat berasal dari rata-rata penjualan satu juta unit mobil dan sekitar enam juta unit sepeda motor setiap tahunnya.

“Kami menghitung bahwa pemerintah memiliki potensi pendapatan sekitar Rp 92 triliun dari cukai karbon kendaraan bermotor, angka yang sangat besar. Jika dibandingkan dengan kenaikan PPN 1% (dari 11% menjadi 12%), itu hanya menghasilkan sekitar Rp 67 triliun. Artinya, (cukai karbon) lebih besar Rp 25 triliun dibandingkan PPN 12%. Jadi, mengapa pemerintah tidak mempertimbangkan opsi (cukai karbon) seperti ini?” tanya Safrudin.

(lua/dry)