Korea Selatan Meluncurkan Satelit Mata-mata Ketiga

Korea Selatan Meluncurkan Satelit Mata-mata Ketiga

Sedang memuat…

Korea Selatan Meluncurkan Satelit Mata-mata Ketiga. FOTO / YONHAP

SEOUL – Korea Selatan telah sukses meluncurkan satelit mata-mata militer ketiganya yang dikembangkan secara lokal. Proses peluncuran berlangsung di pusat luar angkasa Amerika Serikat (AS) di California, dengan menggunakan roket Falcon 9 dari SpaceX.

Baca Juga

Korea Selatan Meluncurkan Satelit Mata-mata Ketiga

Menurut informasi yang diperoleh dari Yonhap serta kementerian pertahanan, peluncuran roket Falcon 9 berlangsung tepat pada pukul 20.34 pada hari Sabtu dari Pangkalan Luar Angkasa Vandenberg.

Langkah ini menjadi krusial bagi Korea Selatan yang memiliki target ambisius untuk meluncurkan lima satelit mata-mata hingga tahun 2025, dalam upaya memperkuat kemampuan pemantauan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh Korea Utara.

Satelit mata-mata pertama Korea Selatan berhasil diluncurkan pada bulan Desember tahun lalu, diikuti oleh satelit kedua yang diluncurkan pada bulan April.

(wbs)

“`

Referensi: anomsuryaputra.id

Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara yang Akan Hilang Duluan dari Bumi

Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara yang Akan Hilang Duluan dari Bumi

Jakarta, CNBC Indonesia – Korea Selatan, yang sebelumnya menjadi contoh teladan dalam pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, kini menghadapi masalah serius terkait krisis kesuburan. Angka kelahiran di negara ini telah jatuh ke tingkat yang sangat rendah.

Jika tren ini berlanjut, diperkirakan bahwa populasi Negeri Ginseng ini bisa berkurang hingga sepertiga dari jumlah penduduk saat ini pada akhir abad ini.

Lalu, apa yang menjadi penyebab fenomena ini? Berdasarkan laporan dari Economic Times yang dirilis pada Minggu (1/12/2024), penyebabnya jauh lebih kompleks, melibatkan faktor sosial-ekonomi serta ketegangan gender yang telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Awal Penurunan Angka Kelahiran di Korsel

Penurunan angka kelahiran di Korea Selatan dimulai dengan adanya kebijakan keluarga berencana. Pada tahun 1960-an, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengendalikan angka kelahiran, khawatir bahwa pertumbuhan populasi akan melampaui kemampuan pembangunan ekonomi.

Pada saat itu, pendapatan per kapita Korea Selatan hanya mencapai 20% dari rata-rata global, sementara angka kesuburan mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 6 anak per wanita. Namun, pada tahun 1982, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, angka kelahiran mulai menurun menjadi 2,4. Walaupun masih di atas tingkat penggantian yang diperlukan sebesar 2,1, ini merupakan langkah pertama yang positif.

Sejak tahun 1983, angka kelahiran terus menurun hingga mencapai tingkat penggantian, dan penurunan ini semakin cepat. Penurunan yang awalnya terencana kini telah bertransformasi menjadi krisis, dengan proyeksi populasi Korea Selatan yang bisa merosot dari 52 juta menjadi hanya 17 juta pada akhir abad ini.

Dalam skenario terburuk, beberapa perkiraan menyebutkan bahwa negara ini bisa kehilangan hingga 70% dari populasinya, yang berarti hanya tersisa sekitar 14 juta orang. Hal ini berpotensi mengganggu stabilitas ekonomi dan menciptakan tantangan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara yang Akan Hilang Duluan dari Bumi

Foto: Ilustrasi warga Korea Selatan mengangkat bendera. (AP Photo/Lee Jin-man)
Ilustrasi warga Korea Selatan mengangkat bendera. (AP Photo/Lee Jin-man)

Akar Penyebab Penurunan Angka Kelahiran

Penyebab utama dari masalah ini terletak pada perubahan sosial dan budaya yang terjadi di negara tersebut. Banyak perempuan, terutama di kota-kota besar, lebih memilih untuk fokus pada karier daripada memulai sebuah keluarga.

Lebih dari setengah responden dalam survei pemerintah tahun 2023 mengidentifikasi “beban mengasuh anak” sebagai tantangan terbesar yang dihadapi perempuan dalam dunia kerja.

Dengan meningkatnya jumlah rumah tangga dengan pendapatan ganda serta akses pendidikan yang lebih baik, perempuan kini memiliki kebebasan untuk menunda atau bahkan menghindari pernikahan dan memiliki anak.

Di samping itu, pandangan terhadap pernikahan juga telah berubah; pernikahan tidak lagi dianggap sebagai syarat untuk memiliki anak. Dalam dekade terakhir, persentase orang yang menerima ide memiliki anak di luar nikah meningkat dari 22% menjadi 35%, meskipun hanya sekitar 2,5% anak yang lahir di luar nikah di Korea Selatan.

Bagi pasangan yang telah menikah, perempuan semakin menuntut kesetaraan dalam pembagian tanggung jawab rumah tangga. Kesenjangan gender tetap sangat mencolok, dengan 92% perempuan yang mengurus pekerjaan rumah tangga pada hari kerja, dibandingkan hanya 61% laki-laki.

Kesenjangan ini telah menimbulkan frustrasi yang luas terhadap peran tradisional dalam pernikahan. Menariknya, survei tahun 2024 menunjukkan bahwa sepertiga perempuan di Korea Selatan tidak ingin menikah, dengan 93% dari mereka menyebutkan beban pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak sebagai alasan utama.

Meskipun pemerintah telah berusaha mengatasi penurunan angka kelahiran dengan berbagai langkah, termasuk insentif finansial dan inisiatif lainnya, hasilnya hingga kini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Pemerintah telah meluncurkan serangkaian kebijakan untuk meningkatkan angka kelahiran, seperti merekrut pekerja rumah tangga asing untuk membantu pengasuhan anak, memberikan keringanan pajak, dan bahkan mempertimbangkan untuk membebaskan laki-laki dari wajib militer jika mereka memiliki tiga anak atau lebih pada usia 30 tahun. Namun, upaya ini belum memberikan hasil yang diharapkan.

Perjuangan Kesetaraan Gender

Kesenjangan gender di Korea Selatan mungkin menjadi salah satu faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap krisis fertilitas. Sementara perempuan semakin mencari kemitraan yang setara, iklim politik di negara tersebut menunjukkan peningkatan sentimen anti-feminis, terutama di kalangan laki-laki muda.

Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol, yang terpilih pada tahun 2022 dengan dukungan besar dari pemilih laki-laki, telah menyarankan penghapusan kuota gender dan bahkan menyatakan bahwa feminisme adalah penyebab utama perpecahan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Pernyataan ini memicu perdebatan politik dan budaya yang sengit, di mana sikap presiden terhadap kesetaraan gender telah mendapat kritik tajam dari aktivis hak-hak perempuan dan semakin memperuncing perpecahan di masyarakat.

Korea Selatan berada di peringkat terendah di OECD dalam hal kesetaraan gender, menduduki posisi ke-94 secara global. Negara ini tertinggal dalam beberapa bidang penting seperti partisipasi ekonomi (peringkat ke-112), pendidikan (peringkat ke-100), pemberdayaan politik (peringkat ke-72), dan kesehatan (peringkat ke-47).

Ketidakseimbangan gender ini telah menimbulkan frustrasi di kedua belah pihak, di mana perempuan menuntut kesempatan yang lebih setara sementara laki-laki mengungkapkan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang dianggap mendukung perempuan.

Krisis fertilitas di Korea Selatan bukan hanya masalah demografis, tetapi juga mencerminkan ketidaksetaraan gender dan konflik budaya yang kompleks di negara ini. Seiring dengan terus menurunnya populasi, negara ini dihadapkan pada tantangan besar untuk menyelesaikan masalah ini sambil menghadapi kompleksitas peran keluarga, pekerjaan, dan gender.

(tfa/haa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Song Jae-Rim Meninggal Dunia, Bikin Kaget Dunia Hiburan Korea



Artikel Selanjutnya



‘Neraka Bocor’ Makan Korban Baru: Korea Selatan