Jakarta –
Kecerdasan buatan, atau yang lebih dikenal sebagai artificial intelligence (AI), semakin memperluas jangkauannya ke berbagai sektor, termasuk dalam industri musik. Kehadiran AI yang memberikan kemudahan dalam berbagai pekerjaan sering kali memicu perdebatan, terutama karena hasilnya bisa bersaing dengan karya manusia yang asli. Lalu, bagaimana pengaruhnya dalam dunia musik?
Di sektor lain, seperti desain grafis, AI mampu menciptakan karya iklan yang dapat menggantikan peran desainer. Hal ini bisa terjadi berkat kemampuan AI dalam memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar.
Steiner Jeffs, seorang peneliti dari University of Agder di Norwegia, menjelaskan bahwa kekhawatiran terhadap AI di bidang visual sangatlah wajar. Pasalnya, teknologi yang mampu mengubah teks menjadi gambar bekerja dengan sangat efisien.
Iklan
Gulir untuk melanjutkan konten
Namun, dalam konteks musik, pandangan terhadap AI bisa berbeda. Khususnya dalam proses penciptaan yang dapat mendukung musisi dalam berkarya.
“Musisi tetap ingin menciptakan musik karena proses tersebut memiliki makna yang mendalam bagi mereka,” ungkap Jeffs, sebagaimana dikutip dari situs resmi University of Agder.
Di sisi lain, proses pembuatan musik juga memberikan wawasan kepada penggemar. Fenomena di mana artis merilis versi demo atau berbagi video tentang cara mereka menciptakan lagu di studio semakin meningkat.
Dengan cara ini, penggemar dapat merasakan langsung bagaimana proses kreatif dalam menciptakan lagu berlangsung.
“Tampaknya ada peningkatan minat terhadap hal-hal yang autentik dan mentah, dan bukan tidak mungkin tren serupa juga akan muncul di bidang seni visual dan lainnya,” tambahnya.
AI Mempengaruhi Kehidupan Musisi
Nyatanya, meskipun AI dapat membantu dalam pekerjaan, dampaknya terhadap pendapatan musisi tetap menjadi perhatian. Salah satu contohnya adalah layanan streaming yang cenderung mengurangi pendapatan dari penjualan rekaman.
Dalam situasi ini, konser menjadi sumber pendapatan utama bagi para musisi. Menurut Jeffs, pasar konser tidak mungkin tergantikan oleh AI.
“Orang-orang akan selalu tertarik dengan penampilan langsung, dan kita tetap ingin menikmati musik secara langsung,” kata Jeffs.
Namun, Jeffs juga mencatat bahwa banyak pekerjaan sampingan yang sebelumnya menjadi sumber penghasilan musisi kini mulai digantikan oleh AI. Contohnya, pembuatan musik latar, jingle untuk radio dan podcast, serta musik untuk film, permainan, dan iklan.
Tanpa diragukan, AI juga berpotensi mengambil alih pekerjaan aransemen untuk paduan suara dan orkestra.
AI Tak Bisa Menghadirkan Emosi Dalam Musik
Meski demikian, Jeffs menegaskan bahwa AI tidak dapat menggantikan emosi yang terkandung dalam musik.
“Manusia masih memerlukan musik yang dapat membangun hubungan emosional yang dalam. Meskipun banyak musik yang kita dengar dalam latar belakang acara realitas, mungkin diproduksi menggunakan AI,” jelas Jeffs.
Dalam hal ini, Jeffs juga menjelaskan bahwa beberapa musisi kini mulai memanfaatkan AI dalam proses produksi musik mereka. Beberapa menggunakan AI sebagai mitra kreatif saat menulis lagu, karena AI memberi mereka kebebasan untuk bereksperimen tanpa rasa takut akan kritik.
Selain itu, ada yang memanfaatkan kesalahan yang dibuat oleh AI sebagai inspirasi untuk ide-ide baru.
“Banyak musisi merasa memiliki lebih banyak waktu untuk berkreasi saat AI menangani tugas-tugas rutin,” jelas Jeffs.
Meski demikian, ada kekhawatiran bahwa AI dapat menyebabkan musik menjadi seragam. Hal ini disebabkan oleh cara kerja AI yang memanfaatkan musik yang sudah ada untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Musik yang dihasilkan oleh AI sering kali kehilangan elemen unik yang biasanya muncul dari ketidaksempurnaan.
“Ada anggapan bahwa seniman masa depan akan menguasai seni dalam menyusun deskripsi atau perintah untuk AI. Namun, ini memerlukan waktu dan usaha yang besar untuk mengembangkan selera. Apakah Anda benar-benar dapat menulis perintah yang menghasilkan sesuatu yang menarik jika Anda belum benar-benar memahami seni tersebut?” ujar Jeffs.
Meski ada tantangan, Jeffs tetap optimis bahwa teknologi AI dapat membuka peluang baru bagi artis untuk bersaing dengan yang lebih besar. Menurutnya, cara untuk dikenal sebagai seorang artis kini tidak lagi bergantung pada label rekaman.
“Sekarang, cara baru untuk dikenal sebagai artis tidak lagi melalui label rekaman. Lebih sering, hal itu terjadi melalui mikrokultur, biasanya lewat YouTuber populer atau platform media sosial lainnya,” jelasnya.
Jeffs juga mengingatkan bahwa jika teknologi ini tidak digunakan dengan bijak, musik dapat kehilangan keunikan. Jika hal ini terus berlanjut, generasi musisi berikutnya mungkin akan kehilangan kontak dengan seni yang mereka cintai.
(faz/faz)