KOMPAS.com – Mulai Januari 2024, Indonesia akan menerapkan kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan diberlakukan di berbagai sektor, termasuk dalam layanan pendidikan yang berstandar internasional. Kebijakan ini tentu akan berdampak pada banyak pihak.
Namun, pandangan berbeda muncul dari Prof. Dr. R. Agus Sartono, M.B.A., seorang Guru Besar di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Ia berpendapat bahwa rencana penerapan PPN 12 persen pada sektor pendidikan adalah langkah yang kurang tepat dan sebaiknya ditinjau ulang.
Agus menjelaskan bahwa jika pajak ini tetap dilaksanakan, hal itu dapat memperburuk akses pendidikan tinggi dan membuat Indonesia semakin tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Baca juga: 7 Jurusan D4-S2 Sekolah Kedinasan STIN, Lulus Bisa Jadi CPNS
“Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang seharusnya tidak dikenakan pajak. Dengan mengurangi kebocoran dan korupsi, dana yang ada sudah lebih dari cukup untuk mendanai pengembangan sumber daya manusia. Mengabaikan sektor pendidikan hanya akan memperburuk kondisi kita di masa depan,” ungkap Agus Sartono, seperti yang dilansir dari laman UGM pada Senin (23/12/2024).
Ia juga menambahkan bahwa pengenaan PPN 12 persen pada pendidikan bertaraf internasional tidak tepat sasaran, terutama karena pemerintah sendiri berupaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia agar setara dengan standar internasional.
Banyak PTN BH punya program internasional
Di sisi lain, sejumlah Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN BH) kini tengah mengembangkan program International Undergraduate Program (IUP). Program ini tidak hanya membantu dalam pendanaan bagi PTN BH, tetapi juga menarik minat mahasiswa asing untuk berpartisipasi dalam pertukaran pelajar.
“Melalui IUP, PTN BH dapat memberikan subsidi kepada mahasiswa dari keluarga kurang mampu, sehingga mereka tetap memiliki akses ke pendidikan tinggi,” jelasnya.
Agus juga menekankan bahwa keberadaan mahasiswa asing di PTN BH dapat memberikan dampak positif dalam jangka panjang. Selain mendukung ekspor layanan pendidikan, hal ini juga berpotensi melahirkan para Indonesianis yang dapat memainkan peran penting dalam membangun hubungan bilateral antar negara.
Baca juga: Beasiswa Bantuan Tugas Akhir bagi Mahasiswa D4-S1 UGM, Dapat Rp 5 Juta
Agus, yang pernah menjabat sebagai Deputi Bidang Pendidikan dan Agama di Kemenkokesra pada periode 2010-2014 serta di Kemenko PMK pada 2014-2021, menilai bahwa waktu untuk mengenakan pajak di sektor pendidikan saat ini kurang tepat, terutama mengingat masih banyak tantangan terkait akses pendidikan di Indonesia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proyeksi populasi penduduk berusia 19-23 tahun pada tahun 2025 akan mencapai 27,39 juta jiwa, sedangkan angka partisipasi kasar (APK) di perguruan tinggi ditargetkan untuk mencapai 35 persen.
Dengan kata lain, jumlah mahasiswa diperkirakan akan mencapai sekitar 9,58 juta. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas akses pendidikan untuk sekitar 1,27 juta mahasiswa baru.
“Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, mengapa di saat pemerintah berusaha meningkatkan akses pendidikan, justru berencana menambah beban dengan PPN 12 persen? Selain itu, kita juga harus memikirkan bagaimana cara mengatasi lulusan pendidikan yang tidak dapat terserap oleh industri,” tambahnya.
Ikuti berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Untuk berita Kompas.com, Anda dapat bergabung dengan WhatsApp Channel kami di: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah mengunduh aplikasi WhatsApp.